Obligasi Syariah

Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.

Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan:

Pertama, aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

Kedua, peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik.
Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:
a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).
3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).
6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Landasan Dasar Obligasi Syariah
1. Firman Allah Swt:
Al-Baqarah ayat 275
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…”

Al-Mujamil ayat 20
“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”

2. Sabda Nabi Muhammad Saw:
“Abu Rafi’i r.a., meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Saw pernah meminjam seekor unta betina yang masih kecil dari seorang sahabat. Lalu (kata Abu Rafi’i) aku sampakan kepadanya tentang waktu pembayaran hutangnya. Dan Rasulullah pun memerintahkan Abu Rafi’i untuk segera membayarkan hutang Nabi itu unta yang sepadan dengan yang dipinjamnya. Abu Rafi’i mengatakan: aku tidak menemukan unta kecuali untuk yang cukup besar dan sangat bagus. Maka Rasulullah Saw bersabda: berikanlah unta yang bagus itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik membayar hutangnya”. (HR. Imam Muslim)
“Tiga bentuk usaha yang di dalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerja sama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk di jual. (HR. Ibnu Majah)
Abi Darda r.a., “Sungguh jika aku dipinjami dua dinar emas, lalu dibayarkan kembali (kepadaku). Kemudian aku meminjam lagi (kepada orang lain) niscaya aku lebih mencintai meminjamkannya dari pada aku mensedekahkannya. Karena meminjamkan itu dapat memberi kemudahan kepada saudara semuslim serta dapat memenuhi/menolong kebutuhannya. Meminjamkan itu sunnah seperti sedekah, namun ia tidak wajib”.

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah.

Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi Konvensional

Secara prinsipil perbedaaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional seperti halnya bisnis syariah lainnya, dimana prinsip-prinsip syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Diantaranya perbedaan tersebut dapat diketahui; pertama, dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah.

Kedua, obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.

Ketiga, obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya.
Secara jelas aturan bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya, perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi rokok yang dimakruhkan. Wallahua’lam bishawab!

Oleh:
Ach. Bakhrul Muchtasib

sumber: PUBLIKASI SYARIAH,Website PKES, di http://www.pkes.org/?page=publication_list&id=22&content_id=48

Categories: ekonomi - (ekonomi syariah) | Tag: | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

silakan tuliskan komentar pada kolom dibawah ini :)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.